Hitung Mundur Ujian Nasional SMA/SMK/MA

Sabtu, 09 Januari 2010

Madrasah Mulai Sejajar Dengan Sekolah Umum


Dirjen Pendidikan Islam, Prof Dr Mohammad Ali mengatakan bahwa pendidikan madrasah sudah mulai dapat disejajarkan dengan sekolah umum dengan berhasilnya pendidikan sekolah tersebut merebut kejuaraan sains tingkat nasional dan internasional.

Ia mengungkapkan disela-sela acara peringatan Hari Amal Bhakti Kementerian Agama ke 64 di Jakarta, Senin (4/1). Kementerian Agama memberikan penghargaan kepada siswa siswi berprestasi pendidikan Madrasah Ibtidayah , Madrasah Tsanawiyah serta Madrasah Aliyah.

Mereka dinilai telah berhasil menggaet medali dalam lomba sains tingkat nasional dan internasional. Baik dalam bidang sains, matematik dan teknologi (robot) oleh siswa madrasah tingkat Ibtidayah dan madrasah Aliyah tersebut, maka berarti pendidikan di madrasah bisa dinilai tidak kalah dengan sekolah umum

"Kami tidak membentuk pendidikan khusus bagi siswa berprestasi sebagaimana sekolah umum,"kata Mohammad Ali.

Sebelumnya ada senyalemen bahwa ada perbedaan kualitas antara madrasah dibanding sekolah umum. Karena sebagian besar madrasah dikelola swasta 91,5 , yang negeri hanya 8,5 . Dengan prestasi tersebut berarti madrasah bisa disejajarkan dengan pendidikan di sekolah umum.

Madrasah di Indonesia adalah lembaga pendidikan formal yang kurikulumnya mengacu pada kurikulum pendidikan nasional, tapi memiliki muatan agama yang lebih banyak dibanding sekolah. Jika sekolah dibawah Kementerian Pendidikan Nasional, madrasah dipayungi Kementerian Agama.

Dirjen juga menyebutkan pendidikan di pesantren ada yang menyatu atau di dalam pesantren menyatu dengan pendidikan bagi santrinya, tapi ada juga pesantren yang memisahkan antara pendidikan madrasah dengan pendidikan dalam pesantren itu sendiri. Bagi pesantren yang memisahkan pendidikanya itu tidak masalah, namun yang menyatukan pendidikannya diperlukan standarisasi pendidikan di pesantren agar lulusannya juga diakui masyarakat nasional.

"Kita akan membentuk kurikulum khusus untuk itu,รข��kata dirjen. Dia juga menyebutkan akhir februari kurikulum tersebut sudah selesai.
Untuk ujiannya, kelak akan ada semacam ujian nasional khusus pesantren agar diperoleh siswa yang baik lulusannya. (HP)

Diupload oleh Syaiful Pinmas (-) dalam kategori Pendidikan Agama pada tanggal 04-01-2010 18:27

Minggu, 03 Januari 2010

Validitas Ujian Nasional (Refleksi Pendidikan Nasional 2009)

Validitas UN sebagai evaluation test serta SNMPTN sebagai prediction test perlu dirumuskan sehingga tidak memberatkan siswa dalam mempersiapkan ujian


Kalender tahun 2009 berakhir sudah. Begitu pula dengan lembaran catatan dalam diary pendidikan nasional sudah tertutup. Nah, menyongsong tahun 2010, alangkah baiknya kita membuka kembali lembaran-lembaran sejarah masa lalu sepanjang 2009. Lembaran sejarah yang telah tergores sebagai refleksi perjalanan bangsa dalam bidang pendidikan.
Pendidikan adalah pilar bangsa ini untuk menatap masa depan yang cemerlang. Tanpa pendidikan yang bermutu, bangsa ini hanya akan menjadi "pesuruh" di tanah kelahirannya. Apalagi menjelang China-ASEAN Free Trade Agreement (CAFTA) 2010, era perdagangan bebas telah dimulai. Kualitas pendidikan bangsa menjadi syarat mutlak untuk menghadapi CAFTA 2010.
Tahun 2009 merupakan tahun pencapaian target pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid I di bawah kendali Presiden SBY. Tahun ini pula, Rencana Strategis (Renstra) Departemen Pendidikan Nasional disusun untuk KIB Jilid II hingga tahun 2014. Tulisan sederhana ini mencoba untuk melakukan refleksi kebijakan pendidikan pemerintah hingga tahun 2009.

Problem Pendidikan
Pertama, kebijakan kontroversial yang menuai pro dan kontra dari masyarakat adalah Ujian Nasional. Hingga saat ini, ujian nasional masih menjadi polemik di kalangan pendidik dan pemerintah. Keputusan penghapusan UN oleh MA pada 14 September 2009 merupakan hasil perjuangan para siswa, mahasiswa, guru, orang tua serta aktivis pendidikan melalui citizen law suit.
Inti gugatan yang dikemukakan oleh masyarakat antara lain adalah bahwa UN dinilai tidak adil karena standar kelulusan sama di setiap daerah sedangkan infrastruktur pendidikan di setiap daerah tidak merata. Masyarakat juga menolak UN sebagai satu-satunya ukuran kelulusan siswa.
Mereka juga menilai bahwa pemerintah dinilai lalai meningkatkan kualitas guru, sarana dan prasarana sekolah serta akses informasi yang sama di seluruh daerah. Dari dimensi psikologis, pemerintah juga diminta mengatasi gangguan psikologis dan mental siswa yang gagal UN.
Pemetaaan mutu program maupun satuan pendidikan akan tercapai apabila setiap institusi pendidikan melaksanakan UN sesuai dengan mekanisme yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Kecurangan yang terjadi selama ini jelas akan mengaburkan pemetaan kualitas sekolah yang akan mengaburkan validitas hasil UN.
Tentunya tidak dapat dijadikan dasar untuk seleksi masuk ke jenjang pendidikan berikutnya serta mengakibatkan kekeliruan dalam pengambilan kebijakan untuk pemberian bantuan kepada satuan pendidikan
Kedua, implementasi Undang-undang Badan Hukum Pendidikan Pemerintah (UU BHPP) bagi perguruan tinggi semakin mempersempit kesempatan bagi masyarakat di kalangan ekonomi menengah ke bawah untuk duduk di kursi perguruan tinggi. Realitas tersebut tidak terlepas dari jeratan ekonomi neoliberal sebagai konsekuensi globalisasi ekonomi yang berorientasi ekonomi pasar (market-driven economy).
Salah satu implementasi dari sistem ekonomi neoliberal adalah dengan melakukan pencabutan subsidi di berbagai sektor kehidupan, termasuk subsidi pendidikan. Maka terjadilah privatisasi pendidikan yang dibungkus oleh kebijakan otonomi perguruan tinggi maupun otonomi sekolah. Perlahan namun pasti pemerintah sedikit demi sedikit mulai lepas tangan dalam menjamin akses pendidikan bagi seluruh warganya.
Ketiga, pencapaian target wajib belajar pada jenjang pendidikan dasar 9 tahun tidak terwujud. Masih ada sekitar 2,2 juta anak usia wajib belajar, yakni usia 7-15 tahun yang belum dapat menikmati pendidikan dasar. Kebijakan pendidikan gratis 9 tahun masih membuat orang tua tidak menyekolahkan anaknya karena faktor sulitnya akses ke sekolah, kurangnya kesadaran orangtua serta beban ekonomi keluarga (Kompas, 11/12/2009).
Padahal, salah satu Tujuan Pembangunan Millennium (Millenium Development Goals) yang disebut MDGs 2015 adalah partisipasi anak usia wajib belajar untuk menikmati pendidikan dasar 9 tahun.
Sekolah gratis memang sangat membantu siswa yang miskin untuk kembali sekolah. Namun, menggratiskan sekolah bukan jalan satu-satunya dalam rangka meningkatkan partisipasi mereka untuk sekolah. Pola pikir (paradigma) bahwa pendidikan itu penting justru harus diubah terlebih dahulu.
Meski di beberapa daerah telah memberlakukan sekolah gratis (SD dan SMP), namun jumlah angka putus sekolah pada usia tersebut masih tetap tinggi. Hal ini disebabkan karena siswa menjadi tulang punggung ekonomi keluarga.
Keempat, kebijakan sertifikasi guru yang telah memasuki tahun keempat masih menyisakan banyak masalah dalam implementasinya, termasuk pencairan dana tunjangan profesi guru yang berbelit-belit. Dari hasil penelitian penulis di beberapa SMK di kota Makassar, penilaian portofolio dalam melakukan seleksi bagi guru profesional ternyata banyak dikeluhkan oleh guru-guru.

Efisiensi Anggaran
Penilaian portofolio secara tidak langsung mendorong guru untuk membeli sertifikat pelatihan, bahkan memalsukan sertifikat orang lain. Tindakan pemalsuan dokumen portofolio yang dilakukan oleh oknum guru tentunya merupakan perbuatan yang tercela dan tidak sejalan dengan prinsip sertifikasi guru yang mengedepankan prinsip objektif, transparan, dan akuntabel.
Kelima, kebijakan pembangunan SMK dengan proporsi 70:30 dengan alokasi 70 persen SMK dan 30 persen SMA harus direncanakan secara komprehensif. Banyaknya jumlah SMK tentunya akan menambah jumlah lulusan SMK.
Sedangkan jumlah lapangan kerja yang disiapkan oleh pemerintah sangat terbatas. Oleh karena itu, pendidikan berbasis kewirausahaan harus dikedepankan pada kurikulum SMK untuk menghasilkan alumni yang bermutu. Iklim investasi yang kondusif dan mekanisme perizinan yang efisien dan efektif menjadi syarat berkembangnya industri rumah tangga yang dipelopori oleh alumni SMK.
Biaya iklan Depdiknas yang digunakan untuk mempengaruhi alumni SMP mungkin akan lebih baik jika direlokasi ke anggaran workshop entrepreneurship untuk calon alumni SMK.
Keenam, rencana pemerintah dalam menghapuskan SNMPTN perlu ditelaah dengan cermat. Efektifitas pelaksanaan dan efisiensi anggaran menjadi kunci pelaksanaan SNMPTN. Wacana penghapusan SNMPTN diganti dengan Ujian Nasional masih perlu pertimbangan antara Direktorat Jenderal Pendidikan Menengah dengan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas serta melibatkan pihak perguruan tinggi.
Validitas UN sebagai evaluation test serta SNMPTN sebagai prediction test perlu dirumuskan sehingga tidak memberatkan siswa dalam mempersiapkan ujian.
Ketujuh, tawuran mahasisiwa masih menjadi problem nilai moral bagi generasi bangsa. Kaum mahasiswa dengan sederet predikat yang melekat padanya tanpa rasa malu mempertontonkan aksi yang sangat tidak terpuji.
Mahasiswa yang menempati piramida tertinggi dalam struktur piramida kaum terpelajar ternyata menjadi aktor perbuatan yang justru merendahkan martabatnya. Fungsi mahasiswa sebagai agen perubahan (agent of change) , kekuatan moral (moral force) serta kontrol sosial (social control) ternoda oleh ulah oknum mahasiswa sendiri.
Problematika pendidikan yang telah saya urai di atas tentunya memerlukan alternatif pemecahan sehingga di tahun baru 2010 mendatang, bangsa ini dapat keluar dari badai krisis ekonomi dan krisis moral. Selamat jalan tahun 2009, Selamat datang tahun 2010.***